Memperkuat Imun Rohani Hindu
Oleh : I Wayan Sukarma
Sabtu 21 November 2020
Denpasar,Intelmediabali.id
Manusia adalah kesatuan jasmani dan rohani.
Imun jasmani menjadikan manusia sehat, imun rohani menyebabkan manusia kuat.
Kesehatan dan kekuatan meniscayakan seluruh cita-cita kehidupan terwujud.
Satya, yadnya, dan tapa merangkai solusi memperkuat imun rohani.
Moksa dan jagadhita mencerminkan cita-cita rohani dan jasmani. Sankhya–Yoga memang mengajarkan bahwa eksistensi manusia terbentuk dari dua substansi yang berbeda sekaligus berlawanan, yakni purusa dan prakerti, rohani dan bendani. Keberadaan jasmani yang bendani bukan demi dirinya, melainkan demi sesuatu yang bukan jasmani, dan yang bukan jasmani, itulah rohani. Manusia juga berupaya mendapatkan kelepasan dan yang mendapatkan kelepasan sifatnya bukan jasmani, melainkan rohani. Substansi rohani dalam Upanisad disebut atman, yakni satu unsur panca sraddha. Waisesika menjelaskan bahwa atman berhubungan dengan manas untuk menampakkan corak-corak hidup rohani. Manas juga menyebabkan atman mengalami segala sesuatu ‘yang duniawi’ dan ditaklukkan oleh kelahiran kembali.
Manas (pikiran) dalam Sankhya dijelaskan sebagai perkembangan kejiwaan yang pertama dan bersama indera mengamati dunia luar. Manas bertugas mengkoordinasi dan mengatur perangsang keinderaan kemudian meneruskannya kepada ahamkara (ego), serta buddhi (kehendak). Selanjutnya, manas meneruskan putusan-putusan buddhi kepada alat-alat yang lebih rendah, misalnya alat-alat bertindak (karmendriya). Buddhi, ahamkara, dan manas bersama-sama disebut antahkarana (alat batin). Artinya, imun rohani Hindu tergantung pada kekuatan imun antahkarana. Oleh karena itu, memperkuat imun rohani Hindu niscaya dilakukan dengan menjernihkan manas, meneguhkan posisi ahamkara, serta menguatkan kesadaran buddhi. Selain itu, juga penting menambah kecerahan indera yang bertugas untuk mengamati wujud dunia luar dan berbagai objek material.
Menjernihkan Manas
Pikiran (manas) sebagai perkembangan kejiwaan yang pertama bersifat tidak nyata, abstrak, liar, dan sementara. Ia berhubungan erat dengan indriya dan bersentuhan langsung dengan realitas. Pikiran mampu menjangkau seluruh realitas, baik yang tersaji dalam dunia fenomenal maupun dunia ide. Kekuatan pikiran terdiri atas akal dan nalar. Akal bertugas mengenali realitas, yakni membedakan dan membagi realitas menjadi fakta-fakta sekaligus informasi. Sementara itu, nalar bertugas menghubungkan antarfakta atau antardata menjadi pengertian. Akal dan nalar memampukan manusia untuk memperoleh dan mengkonstruksi berbagai pengetahuan. Tatkala pikiran manusia semakin berkembang dan semakin banyak realitas yang ia kenali, semakin bertambah pula pengetahuan yang mampu diakumulasikan dalam pikirannya.
Pengetahuan mencakup seluruh realitas yang dikenali dan dikonstitusi oleh pikiran sehingga ia bebas nilai. Walaupun demikian, agama, moral, ilmu pengetahuan, serta tradisi melekati pengetahuan dengan kualitas-kualitas tertentu, seperti benar-salah dan baik-buruk. Kualitas pengetahuan yang diperoleh dan dihasilkan manusia melalui pikirannya sekaligus menunjukkan kualitas berpikirnya. Manusia yang tidak mengenali pengetahuan yang benar disebut tanpa pengetahuan (awidya), bahkan andaikata ia memiliki banyak pengetahuan. Kegagalan manusia mendapatkan pengetahuan yang benar, juga tidak lepas dari keadaan pikiran ketika berhadapan dengan objek-objek materi. Pesona materi menyebabkan pikiran goncang dan berpotensi mengabaikan pengetahuan benar yang dimiliki sebelumnya. Hal ini karena pikiran memang bersifat liar dan sementara.
Manas berhubungan dengan atman untuk menampakkan corak-corak kehidupan rohani sehingga kualitas pikiran mencitrakan kekuatan rohani. Pikiran yang awidya tentu melemahkan imun rohani, dan karenanya menjernihkan manas menjadi cara terbaik untuk menguatkan kembali. Sehubungan dengan itu, Manusmerti mengajarkan “manah satyena sudhayanti”, artinya pikiran dijernihkan dengan kebenaran (satya). Teks Wrehaspatitattwa juga mengajarkan jalan jnanabhyudreka, ‘memahami seluruh pengetahuan yang benar’ untuk melenyapkan penderitaan atau duhka sebagai penyakit rohani yang sesungguhnya. Pengetahuan yang harus dikonsumsi manas mencakup parawidya ‘pengetahuan rohani’ dan aparawidya ‘pengetahuan jasmani’. Kedua pengetahuan ini akan membebaskan manas dari awidya sehingga ia mengenali cita-cita kehidupan dan jalan mewujudkan kebahagiaan jasmani serta rohani.
Meneguhkan Posisi Ahamkara
Perangkat mental kedua yang berhubungan dengan manas adalah ahamkara, yakni ego atau keakuan. Ahamkara merupakan terminal yang bertugas menerima informasi dunia luar dari manas dan meneruskan kepada buddhi. Setelah buddhi memutuskan, ahamkara meneruskannya kembali kepada manas, kemudian manas meneruskannya lagi kepada alat-alat indera (dasendriya). Dalam struktur psikis manusia, kedudukan ahamkara menyerupai ‘kehendak’ yang menggerakkan putusan mental dan tindakan untuk melayani rasa keakuan, seperti ‘aku butuh’, ‘aku ingin’, ‘aku pemiliknya’, dan seterusnya. Pada gilirannya, apapun keputusan yang disampaikan buddhi, juga ahamkara yang mengakui sebagai kehendaknya. Ahamkara memiliki posisi penting dalam mewujudkan cita-cita kehidupan manusia, baik cita-cita jasmani ‘jagadhita’ maupun rohani ‘moksa’.
Walaupun demikian, hubungan ahamkara dengan objek-objek bendani berdasarkan informasi yang disampaikan manas mendorong lahirnya ‘kehendak memiliki’ yang tanpa batas. Kehendak untuk menikmati objek-objek tersebut menjadikan ahamkara lupa bahwa jasmani yang bendani sesungguhnya untuk melayani yang rohani. Keserakahan (lobha) atas kepemilikan materi, justru menyebabkan belenggu jiwa yang melemahkan imunitas rohani. Oleh karena itu, penting untuk meneguhkan posisi ahamkara sebagai institusi mental yang melayani cita-cita jasmani dan rohani secara seimbang. Kesenangan jasmani tidak mungkin diabaikan, tetapi kebahagiaan rohani harus menjadi cita-cita tertinggi kehidupan. Manakala jasmani menikmati kesenangan, maka ia harus melayani rohani dengan penuh keikhlasan sehingga rohani mengalami kebahagiaan. Itulah tugas ahamkara.
Meneguhkan posisi ahamkara untuk memperkuat imun rohani Hindu harus didasari pemahaman tentang penyebab yang melemahkan posisinya. Penyebab itu tiada lain adalah pesona objek-objek bendani yang mendorong hasrat memiliki, sehingga ahamkara lupa dengan yang rohani. Oleh karena itu, pemurnian ahamkara menjadi langkah terbaik untuk memperkuat imun rohani. Upaya pemurnian yang dianjurkan Manusmerti adalah, “widya tapobhyam bhutatma” (‘bhutatma’ dimurnikan dengan pengetahuan dan pengendalian diri). Bhutatma, ‘diri yang gelap’ dapat dimengerti adalah nama lain dari ahamkara. Buthatma harus dimurnikan dengan pengetahuan dan pengendalian diri, terutama pengendalian indera ‘indriya yogamarga’ yang bersentuhan langsung dengan objek duniawi sehingga ahamkara kembali menjadi diri yang suci (sivam).
Menguatkan Kesadaran Buddhi
Buddhi adalah instansi moral tertinggi yang bertugas membuat putusan tentang baik atau buruk atas pilihan suatu tindakan. Hakikat buddhi adalah kesadaran, baik kesadaran dharma yang menuntun manusia ke jalan menuju jagadhita dan moksa, maupun kesadaran karma yang menggerakkan tindakan pemenuhan kebutuhan akan dharma, artha, kama, dan moksa. Artinya, seluruh tujuan hidup manusia dan jalan untuk mewujudkannya terangkum dalam kesadaran buddhi. Walaupun demikian, kesadaran buddhi dipengaruhi oleh aktivitas triguna (sattwam, rajas, tamas) sehingga kesadarannya timbul tenggelam saat menentukan putusan moral. Ketika buddhi rajas dan buddhi tamas lebih dominan dibandingkan buddhi sattwam, maka buddhi akan melahirkan putusan yang bertentangan dengan nilai moral.
Putusan buddhi yang bertentangan dengan nilai moral melemahkan imunitas rohani karena putusan ini akan menjadi landasan bagi setiap tindakan manusia. Apabila imoralitas melandasi tindakan dan perilaku manusia, maka dharma akan hancur dan seluruh tujuan hidup menjadi hilang musnah. Oleh karena itu, menguatkan kesadaran buddhi merupakan perintah moral yang harus dilakukan untuk memperkuat imun rohani. Bertalian dengan itu, Manusmerti mengajarkan “buddhirjnana suddyati” bahwa buddhi disucikan dengan jnana. Wiweka jnana adalah kekuatan buddhi, yakni kesadaran membedakan antara yang baik dan yang buruk. Seluruh putusan buddhi yang dilandasi wiweka jnana melepaskan manusia dari belenggu dosa ‘trsna dosaksaya’, dan inilah hakikat kebahagiaan rohani (sundaram).
Merangkai pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa imun rohani Hindu akan kuat ketika institusi kejiwaan yang terhubung dengan atman, yakni manas, ahamkara, dan buddhi, tercerahi oleh dharma sehingga terarah pada jalan menuju cita-cita kehidupan, jagadhita dan moksa. Pengetahuan ‘widya, jnana’ yang substansinya kebenaran (satyam) merupakan asupan utama bagi ketiganya. Kebenaran menjernihkan pengetahuan manas, memurnikan kehendak ahamkara, dan menguatkan kesadaran buddhi. Apabila ketiganya telah dilingkupi satyam, maka seluruh aktivitas jasmani sepenuhnya tertuju untuk melayani rohani. Inilah hakikat yadnya, spirit pelayanan yang mentransformasi kemurnian menjadi kesucian (sivam). Kesucian dijaga dengan pengendalian diri (tapas) sehingga jiwa terbebas dari penderitaan. Inilah hakikat kebahagiaan (sundaram).
Cakrawayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar