Jumat 23 April 2021
Buleleng,Intelmediabali.id-
Tata cara masyarakat adat menerapkan sanksi adat, mulai diukur, dibicarakan dan dipersoalkan dari perspektif HAM. Dalam situasi tertentu hukum adat atau masyarakat adat, tanpa kontruksi logika yang jelas, bahkan serta merta dinilai melanggar HAM.
Pertanyaannya adalah; dapatkah pelanggaran HAM dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok orang sipil terhadap orang atau kelompok orang sipil lainnya?
Dapatkah perilaku masyarakat adat diukur dengan standar-standar HAM?
Pertanyaan diatas, menurut Ida Bagus Wyasa Putra, dalam tulisannya tentang HAM Desa Pekraman versus HAM Krama Desa dalam penerapan sanksi adat, melahirkan dua jawaban " dapat" dan "tidak" dalam konteks hukum HAM.
dikatakan "dapat" karena diatur dalam peraturan perundang-undangan memberi perlindungan Terhadap hak azasi manusia.
Dikatakan "tidak" karena skema HAM adalah skema hubungan pemerintah dan rakyat, sedangkan desa pekraman bukanlah pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi-konvensi HAM. Pemerintah dalam definisi konvensi HAM adalah pemerintah dalam pengertian pemerintah negara, bahkan hanya pemerintah negara yang negaranya menjadi anggota konvensi-konvensi HAM.
Dalam konteks Konvensi suku dan masyarakat asli, desa pekraman bahkan mendapat perlindungan untuk mengukuhkan dan menerapkan budayanya, termasuk sistem sosial dan hukumnya. Sumber sanksi adat adalah hukum adat dan sumber hukum adat adalah nilai-nilai kemasyarakatan atau kultural masyarakat adat dan akhirnya nilai-nilai Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat adat Bali atau lazimnya disebut desa pekraman, bukan gagasan HAM, oleh karena itu, untuk mengukur benar salahnya tata cara penerapan sanksi adat, harus dikembalikan kepada nilai-nilai yang menjadi sumbernya, yaitu Agama Hindu, Bukan HAM.( RED)
Putu Dana ( Ketua Cakrawayu )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar